Kyai NU Raih Yap Thiam Hien Award 2017
ANSOR, JAKARTA – Salah satu tokoh Nahdlatul Ulama’ (NU), KH
Ahmad Mustofa Bisri terpilih sebagai peraih Yap Thiam Hien Award tahun 2017. Kiai
yang akrab disapa Gus Mus ini dinilai sudah memperjuangkan hak asasi manusia
melalui ajaran agamanya.
Yap Thiam Hien Award merupakan
sebuah penghargaan yang diberikan oleh Yayasan Pusat Studi Hak Asasi Manusia
kepada orang-orang yang berjasa besar dalam upaya penegakan hak asasi manusia
di Indonesia. Nama penghargaan ini diambil dari nama pengacara Indonesia
keturunan Tionghoa dan pejuang hak asasi manusia Yap Thiam Hien. Penghargaan
ini umumnya diberikan setiap tahun dan dimulai sejak tahun 1992. Diantara tokoh
yang pernah meraih penghargaan ini adalah Marsinah (1993), Widji Tukul (2002),
dan Asmara Nababan (2010).
Pada tahun 2017 ini, ada 5 orang dewan juri Yap Thiam Hien
Award. Mereka adalah Makarim Wibisono (diplomat senior), Siti Musdah Mulia
(Ketua Umum ICRP), Yoseph Stanley Adi Prasetyo (Ketua Dewan Pers), Zumrotin K
Susilo (aktivis perempuan dan anak) serta Todung Mulya Lubis (Ketua Yayasan Yap
Thiam Hien).
Ketua Yayasan Yap Thiam Hien, Todung Mulya Lubis dalam jumpa
pers di Jakarta pada Kamis (21/12/2017) menjelaskan, proses penentuan peraih Yap Thiam Hien Award
2017 diawali dengan mengumpulkan kandidat yang dihimpun dari jaringan/komunitas
dan masyarakat luas sejak Mei 2017. “Awalnya, ada 34 nama yang muncul, dan
terus mengerucut menjadi 4 nama. Akhirnya, pada sidang dewan juri kedua yang
dilaksanakan 11 Desember 2017, kami sepakat memilih KH Ahmad Mustofa Bisri
sebagai peraih Yap Thiam Hien Award 2017," kata dia sebagaimana ditulis
dalam Kompas.com.
Todung mengatakan, Gus Mus memang tidak pernah dikenal
sebagai aktivis hak asasi manusia. Ia lebih dikenal sebagai kiai, pimpinan
pondok pesantren, dan budayawan. "Namun buat saya, Gus Mus dengan semua
karyanya, dengan semua sepak terjangnya, keterlibatannya, adalah seorang
pejuang hak asasi manusia," kata Todung.
Gus Mus, kata Todung, juga telah berjasa memperkuat hak beribadah
dalam keyakinan setiap pribadi masing-masing. Gus Mus adalah muslim toleran
yang menghargai agama minoritas, bahkan aliran kepercayaan yang statusnya tidak
diakui pemerintah.
"Dia tidak bersuara lantang seperti Munir, Yap Thiam
Hien, ataupun Adnan Buyung. Tapi dalam puisi, dalam ceramahnya, selalu
meneguhkan komitmen untuk pluralitas dan kemajemukan," tambah Todung.
Terpilihnya Gus Mus juga mempertimbangkan konteks politik
Indonesia kekinian. Kondisi di mana agama kerap dijadikan alat politik untuk
meraih kekuasaan. "Dia concern dan
prihatin melihat agama dipolitisasi, dijadikan alat politik," tegas
Todung. (Kompas/Kharis)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar