Pentaskan Wayang Klithik di Acara Merayakan Peradaban Wali-Wali Jawi
ANSOR, MENARA – Pergelaran wayang klithik menjadi salah satu acara yang digelar di kawasan Menara Kudus. Pada
Sabtu (2/12/2017) malam wayang ini dipentaskan pada kegiatan Merayakan Peradaban Wali-Wali Jawi yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bekerjasama dengan Perhimpunan Pemangku Makam Auliya (PPMA).
Pertunjukan yang mengangkat cerita tentang babad Kota Kudus ini dimulai sekitar pukul 20.00 dan diakhiri sekitar pukul 00.30. Oleh dalang Sutikno, dari Desa Wonosoco,
Kecamatan Undaan. Pementasannya diiringi gamelan dan lagu-lagu.
Wayang ini disebut klitik, bukan karena ukurannya kecil
saja. Ada juga bunyi klitik saat masing-masing tokoh wayang saling beradu.
Bunyi benturan terdengar dari wayang yang berbahan dasar kayu jati. Kesenian
ini tumbuh seiring masuknya agama Islam di tanah Jawa, khususnya Kudus.
Denny Nur Hakim, koordinator Humas dan Publikasi Yayasan
Masjid Menara dan Makam Menara Sunan Kudus (YM3SK) mengatakan, pagelaran wayang klithik ini
sangat cocok ditampilkan. Kisahnya sangat berkaitan dengan cerita Kudus. ”Ini
merupakan salah satu bentuk media dakwah yang digunakan para wali,” terangnya.
Peran sentral kesenian ini pada sang dalang. Sepintas orang
akan mengira, bentuk dan cerita wayang klitik mirip kesenian wayang kulit yang
lebih dulu popular di Jawa. Namun, imbuh Denny, berbeda.
Isi cerita wayang klitik berkisar babad tanah Jawa atau
cerita rakyat mengenai legenda tanah Jawa, semisal Panji Semirang. Sementara
kesenian wayang kulit yang diangkat cerita Ramayana dan Mahabharata.
Wayang dimainkannya merupakan tokoh-tokoh kerajaan Majapahit.
Sutikno mengisahkan cerita dalam setting kerajaan yang melegenda di tanah air.
Dia merupakan satu-satunya pewaris dalang wayang klithik. Dia mewarisi
kemahiran mendalang tersebut dari ayahnya, Sumarlan.
Denny mengatakan, pagelaran tersebut untuk dakwah. ”Seperti
halnya yang dilakukan para wali zaman dahulu, mereka menyebarkan agama Islam
melalui kesenian dan budaya. Oleh karena itu, adanya pertunjukan wayang ini
saya harap masyarakat bisa meneladani dan mencontoh kiprah para wali,” ujarnya.
Sebelum pertunjukan, pihaknya memamerkan foto-foto
bersejarah di kompleks makam Sunan Kudus. Selain itu, ada ratusan artefak
peninggalan sembilan wali dipamerkan dalam peradaban wali-wali Jawi.
Denny mengatakan, Dari sekitar 50 foto yang dipajang,
kebanyakan berasal dari luar negeri. Untuk mendapatkan tidak mudah. Pihaknya
mencari ke perpustakaan dan museum di Belanda. Satu file foto tersebut itu
senilai Rp 150 ribu. Seperti foto mahkota Sultan Demak. Saat ini benda tersebut
menjadi salah satu koleksi di Tropenmuseum, Amsterdam, Belanda.
”Kini yang bisa lihat cuma fotonya. Sedangkan bendanya di
negeri orang. Sungguh tragis bukan. Bangsa kami yang sebagai pewaris budayanya
malah tidak memilikinya,” ujarnya. (Kharis)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar