Saling Berebut Ahlu Sunnah Wa Al-Jama’ah
Pada gelaran Munazoroh Qudusiyah muncul permasalahan fikih
tentang boleh-tidaknya menyewa pohon untuk dimanfaatkan buahnya. Jika mengacu
pada fikih reguler, statusnya jelas: tidak boleh!
Jika mengacu pada
sejarah perjalanan agama Samawi di bumi, ada beberapa hal yang berlaku lazim:
awalnya dari jumlah pengikut yang kecil, mendapat persekusi dari masyarakat
terdekat dengan frekuensi yang cukup besar, keharusan untuk hijrah ke tempat
lain, lantas ketika memiliki pengikut besar maka yang tercatat kemudian adalah
munculnya perpecahan-perpecahan sepeninggalnya nabi yang membawa risalah.
Di dalam sejarah Islam pun berlaku demikian: ajaran
uluhiyyah yang dibawa Nabi Muhammad mendapat perlawanan dari masyarakat
terdekat, jumlah pengikutnya yang kecil mendapatkan persekusi sedemikian hebat,
kemudian hijrah ke Madinah, akhirnya memiliki pengikut yang besar lantas
terjadi perpecahan-perpecahan pasca wafatnya beliau (dalam ramalan Nabi pernah
memperingatkan dalam hadits sataftariqu ummati yang terkenal itu).
Setelah Nabi Muhammad wafat, benar bahwa terjadi
fitnah-fitnah doktrinal dan kekacauan sosial dalam sejarah Islam dan terwarisi
hingga sampai sekarang. Fitnah doktrinal terjadi manakala masing-masing
golongan yang terpecah itu merasa yakin memiliki format syariat dan rumusan
tafsir paling benar seperti yang Allah ajarkan pada Nabi Muhammad, dan
kekacauan sosial akan pecah ketika masing-masing golongan mengibarkan bendera
perang untuk melibas golongan-golongan lain agar tampil sebagai satu-satunya
golongan paling benar secara sendirian.
Dari semua golongan yang terpecah, manakah yang selamat
(dalam arti harafiah) di mata Allah?
Dalam ramalan Nabi Muhammad di atas, beliau menyinggung
hanya ada satu pecahan golongan yang benar-benar lurus, yaitu: Ahlu Sunnah wa
Al-Jama’ah. Dalam kajian literatur Islam, terma Ahlu Sunna wa Al-Jama’ah
seharusnya terbilang baru. Namun pada hakikatnya, ia setamsil dengan ism hadits
li musamma qadim (nama anyar untuk penyebutan [makna] lawas).
Karena mendapat penyebutan langsung dari Nabi Muhammad,
tidak sedikit golongan yang melabeli dirinya sebagai Ahlu Sunnah atas dasar
legitimasi nubuwwah; saling rebutan. Namun Ahlu Sunnah yang bagaimana yang
dimaksudkan Rasulullah?
Secara de jure term Ahlu Sunnah wa Al-Jama’ah memiliki tiga
rumusan karakteristik, yaitu: tawasuth (berimbang), tasamuh (mengambil posisi
tengah), dan I’tidal (lurus). Dari karakteristik ini sebenarnya sudah cukup
untuk memangkas golongan-golongan yang menganggap dirinya Ahlu Sunnah, padahal
tidak. Semudah karakteristik tersebut menegasikan Mu’aththilah (tidak percaya
adanya sifat bagi Allah), Mujassimah (menganggap Allah memiliki organ
biologis), Qadariyah (pemercaya manusia memiliki kuasa secara istiqlal terhadap
dirinya sendiri), Jabariyah (kaum fatalis), Murji’ah (pembalasan diserahkan
Allah seutuhnya), dan lain sebagainya.
Namun secara de facto aplikasi karakteristik ini tidak
segampang yang dibayangkan (untuk tidak mengatakan mustahil dilakukan). Ada
ceruk kosong yang perlu dibenahi, yaitu: komitmen untuk memegang karakteristik
Ahlu Sunnah secara utuh, dengan strategi yang lebih aktual. Jika benar-benar
tidak mampu untuk menuruti karakteristik tersebut, tidak hanya Ahlu Sunnah yang
akan berwajah buram, namun wajah Islam pun akan terjungkal.
DARI MANA HARUS MEMULAI?
Pada hakikatnya apa yang terjadi secara faktual di masa
sekarang adalah hal baru. Setiap perkara yang baru adalah perkara baru (umurun
musta`nafah) dan bukan merupakan hal yang terjadi secara diulang. Secara
teologis, Ahlu Sunnah perlu didudukkan kembali dengan sentuhan tasawuf untuk
memudahkan langkah dakwah, dan secara Hukum Islam perlu memetakan landasan
epistemologis fiqhiyyah agar kokoh menjadi hujjah.
Langkah pertama yang dilakukan adalah mengambil ibarat
al-kutub al-fiqhiyyah secara tepat dan matang, memahami konteks
sosio-kulturalnya, serta sering mengadakan muqobalah (perbandingan).
Suatu hikayat menerangkan bahwa antara Ibn Hajar Al-Haitamy
dan Ibn Ziyad pernah terjadi perselisihan pandangan. Terkait permasalahan
tersebut, keduanya secara akademis saling membantah dan berdebat sengit dan
berlangsung cukup lama. Keduanya secara serius tidak mau mengalah karena
keteguhannya pada ilmu, dan secara ketat saling baku hantam argumen untuk
saling diadu.
Pada gelaran Munazoroh Qudusiyah muncul permasalahan fikih
tentang boleh-tidaknya menyewa pohon untuk dimanfaatkan buahnya. Jika mengacu
pada fikih reguler, statusnya jelas: tidak boleh!
Namun hasil keputusan Munazoroh Qudusiyah menampilkan
alternatif dari Imam Subki bahwa boleh memanfatkan buah dari pohon yang
statusnya disewa. Meski pendapat ini termasuk lemah, terdapat upaya untuk tidak
menomor-sekiankan pendapat selain Syaikhoini (istilah untuk menyebut secara
bersamaan Imam Nawawi dan Imam Rofi’i).
Muqobalah tentu memiliki peran vital yang tidak lagi
penting, namun sampai pada tingkat wajib. Seperti dalam permasalahan sujud
dalam salat Imam Rofi’I hanya mencukupkan tulang jidad yang menempel di tanah.
Sementara Imam Nawawi berpendapat bahwa sujud dalam salat perlu menempelkan
tujuh macam tulang (jidad, kedua telapak tangan, kedua dengkul, dan kedua
telapak kaki) barulah salat tersebut dianggap sah. Ketika Ahlu Sunnah dalam
kacamata fikih tidak sering melakukan muqobalah maka hasilnya adalah fatwa kaku
yang menjauh dari prinsip dakwah. Mengetahui pendapat Imam Nawawi dan Imam
Rofi’I, sekadar contoh di atas, adalah mutlak.
Pada akhirnya untuk menerapkan Ahlu Sunnah yang faktual
dengan kebutuhan masa sekarang perlu tasawuf dan epistemologi hujjah yang
sangat matang dan berjalan beriringan. Tentu dengan tidak meninggalkan tiga
karakteristik Ahlu Sunnah yang sudah diterangkan di atas. Tujuannya tidak lebih
adalah menempatkan Ahlu Sunnah yang melihat umat dengan kacamata dakwah. Dakwah
bermakna harafiah sebagai ajakan. Tentu ajakan tersebut harus berlangsung
secara santun dan sopan. (*)
TIM ASWAJA CENTER KUDUS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar